• Cerita Porno
  • Ingin Kuludahi Suamiku

    Dalam sebuah seminar sehari di hall Hotel
    Hilton International di Jakarta, tampak seorang wanita paruh baya
    berwajah manis sedang membacakan sebuah makalah tentang peranan wanita
    modern dalam kehidupan rumah tangga keluarga bekerja. Dengan tenang ia
    membaca makalah itu sambil sesekali membuat lelucon yang tak ayal
    membuat para peserta seminar itu tersenyum riuh. Permasalahan yang
    sedang dibahas dalam seminar itu menyangkut perihal mengatasi problem
    perselingkuhan para suami yang selama ini memang menjadi topik hangat
    baik di forum resmi ataupun tidak resmi. Beberapa peserta seminar yang
    terdiri dari wanita karir, ibu-ibu rumah tangga dan para pelajar wanita
    itu tampak serius mengikuti jalannya seminar yang diwarnai oleh
    perdebatan antara pakar sosiologi keluarga yang sengaja diundang untuk
    menjadi pembicara. Hadir juga beberapa orang wartawan yang meliput
    jalannya seminar sambil ikut sesekali mengajukan pertanyaan ke arah
    peserta dan pembicara. Suasana riuh saat wanita pembicara itu bercerita
    tentang seorang temannya yang bersuamikan seorang pria mata keranjang
    doyan main perempuan. Berbagai pendapat keluar dalam perdebatan yang
    diarahkan oleh moderator.
    Diakhir sesi pertama saat para peserta
    mengambil waktu istirahat selama tiga puluh menit, tampak wanita
    pembicara itu keluar ruangan dengan langkah cepat seperti menahan
    sesuatu. Ia berjalan dengan cepat menuju toilet di samping hall tempat
    seminar. Namun saat melewati lorong menuju tempat itu ia tak sadar
    menabrak seseorang, akibatnya ia langsung terhenyak.
    “Oh…, maaf,
    saya tidak melihat anda…, maaf ya?”, seru wanita itu pada orang yang
    ditabraknya, namun orang itu seperti tak mengacuhkan.
    “Oke…”, sahut pria muda berdasi itu lembut dan berlalu masuk ke dalam toilet pria.
    Wanita
    itupun bergegas ke arah toilet wanita yang pintunya berdampingan dengan
    pintu toilet pria. Beberapa saat lamanya wanita itu di sana lalu tampak
    lelaki itu keluar dari toilet dan langsung menuju ke depan cermin besar
    dan mencuci tangannya. Kemudian wanita tadi muncul dan menuju ke tempat
    yang sama, keduanya sesaat saling melirik. “Hai”, tegur pria itu kini
    mendahului.
    “Halo…, anda peserta seminar?”, tanya si wanita.
    “Oh, bukan. Saya bekerja di sini, maksud saya di hotel ini”, jawab pria itu.
    “Oh…,
    kalau begitu kebetulan, saya rasa setelah seminar ini saya akan kontak
    lagi dengan manajemen hotel ini untuk mengundang sejumlah pakar dari
    Amerika untuk seminar masalah kesehatan ibu dan anak. Ini kartu
    namaku”, kata wanita itu sambil mengulurkan tangannya pada pria itu.
    Lelaki itu mengambil secarik kartu dari dompetnya dan menyerahkannya
    pada wanita itu.
    “Dokter Miranti Pujiastuti, oh ternyata Ibu ini
    pakar ilmu kedokteran ibu dan anak yang terkenal itu, maaf saya baru
    pertama kali melihat Ibu. Sebenarnya saya banyak membaca
    tulisan-tulisan Ibu yang kontroversial itu, saya sangat mengagumi Ibu”,
    mendadak pria itu menjadi sangat hormat.
    “Ah kamu, jangan terlalu
    berlebihan memuji aku, dan kamu…, hmm…, Edo Prasetya, wakil General
    Manager Hilton International Jakarta. Kamu juga hebat, manajer muda”,
    seru wanita itu sambil menjabat tangan pemuda bernama Edo itu kemudian.
    “Kalau
    begitu saya akan kontak anda mengenai masalah akomodasi dan acara
    seminar yang akan datang, senang bertemu anda, Edo”, seru wanita itu
    sambil kemudian berlalu.
    “Baik, Bu dokter”, jawab sahut pria itu dan membiarkan wanita paruh baya itu berlalu dari ruangan di mana mereka berbicara.
    Sejenak kemudian pemuda itu masih tampak memandangi kartu nama dokter wanita itu, ia seperti sedang mengamati sesuatu yang aneh.
    “Bukankah dokter itu cantik sekali?”, ia berkata dalam hati.
    “Oh
    aku benar-benar tak tahu kalau ia dokter yang sering menjadi perhatian
    publik, begitu tampak cantik di mataku, meski sudah separuh baya, ia
    masih tampak cantik”, benaknya berbicara sendiri.
    “Ah kenapa itu yang aku pikirkan?”, serunya kemudian sambil berlalu dari ruangan itu.
    Sementara
    itu di sebuah rumah kawasan elit Menteng Jakarta pusat tampak sebuah
    mobil memasuki halaman luas rumah itu. Wanita paruh baya bernama dokter
    Miranti itu turun dari sedan Mercy hitam dan langsung memasuki
    rumahnya. Wajah manis wanita paruh baya itu tampaknya menyimpan sebuah
    rasa kesal dalam hati. Sudah seminggu lamanya suami wanita itu belum
    pulang dari perjalanan bisnis keluar negeri. Sudah seminggu pula ia
    didera isu dari rekan sejawat suaminya tentang tingkah laku para
    pejabat dan pengusaha kalangan atas yang selalu memanfaatkan alasan
    perjalanan bisnis untuk mencari kepuasan seksual di luar rumah alias
    perselingkuhan.
    Wanita itu menghempaskan badannya ke tempat
    tidur empuk dalam ruangan luas itu. Ditekannya remote TV dan melihat
    program berita malam yang sedang dibacakan penyiar. Namun tak berselang
    lama setelah itu dilihatnya di TV itu seorang lelaki botak yang tak
    lain adalah suaminya sedang berada dalam sebuah pertemuan resmi antar
    pengusaha di Singapura. Namun yang membuat hati wanita itu panas adalah
    saat melihat suaminya merangkul seorang delegasi dagang Singapura yang
    masih muda dan cantik. Sejenak ia memandang tajam ke arah televisi
    besar itu lalu dengan gemas ia membanting remote TV itu ke lantai
    setelah mematikan TV-nya.
    “Ternyata apa yang digosipkan orang tentang suamiku benar terjadi, huh”, seru wanita itu dengan hati dongkol.
    “Bangsaat..!”, Teriaknya kemudian sambil meraih sebuah bantal guling dan menutupi mukanya.
    Tak
    seorangpun mendengar teriakan itu karena rumah besar itu dilengkapi
    peredam suara pada dindingnya, sehingga empat orang pembantu di rumah
    itu sama sekali tidak mengetahui kalau sang nyonya mereka sedang marah
    dan kesal. Ia menangis sejadi-jadinya, bayang-bayang suaminya yang
    berkencan dengan wanita muda dan cantik itu terus menghantui
    pikirannya. Hatinya semakin panas sampai ia tak sanggup menahan air
    matanya yang kini menetes di pipi.
    Tiga puluh menit ia menangis
    sejadi-jadinya, dipeluknya bantal guling itu dengan penuh rasa kesal
    sampai kemudian ia jatuh tertidur akibat kelelahan. Namun tak seberapa
    lama ia terkulai tiba-tiba ia terhenyak dan kembali menangis. Rupanya
    bayangan itu benar-benar merasuki pikirannya hingga dalam tidurnyapun
    ia masih membayangkan hal itu. Sejenak ia kemudian berdiri dan
    melangkah keluar kamar tidur itu menuju sebuah ruangan kecil di samping
    kamar tidurnya, ia menyalakan lampu dan langsung menuju tumpukan obat
    yang memenuhi sebagian ruangan yang mirip apotik keluarga. Disambarnya
    tas dokter yang ada di situ lalu membuka sebuah bungkusan pil penenang
    yang biasa diberikannya pada pasien yang panik. Ditelannya pil itu lalu
    meminum segelas air.
    Beberapa saat kemudian ia menjadi tenang
    kemudian ia menuju ke ruangan kerjanya yang tampak begitu lengkap. Di
    sana ia membuka beberapa buku, namun bebarapa lamanya kemudian wanita
    itu kembali beranjak menuju kamar tidurnya. Wajahnya kini kembali
    cerah, seberkas senyuman terlihat dari bibirnya yang sensual. Ia duduk
    di depan meja rias dengan cermin besar, hatinya terus berbicara.
    “Masa
    sih aku harus mengalah terus, kalau bangsat itu bisa berselingkuh
    kenapa aku tidak”, benaknya sambil menatap dirinya sendiri di cermin
    itu. Satu-persatu di lepasnya kancing baju kerja yang sedari tadi belum
    dilepasnya itu, ia tersenyum melihat keindahan tubuhnya sendiri. Bagian
    atas tubuhnya yang dilapisi baju dalam putih berenda itu memang tampak
    sangat mempesona. Meski umurnya kini sudah mencapai empat puluh tahun,
    namun tubuh itu jelas akan membuat lelaki tergiur untuk menyentuhnya.
    Kini
    ia mulai melepaskan baju dalam itu hingga bagian atas tubuhnya kini
    terbuka dan hanya dilapisi BH. Perlahan ia berdiri dan memutar seperti
    memamerkan tubuhnya yang bahenol itu. Buah dadanya yang besar dan
    tampak menantang itu diremasnya sendiri sambil mendongak membayangkan
    dirinya sedang bercinta dengan seorang lelaki. Kulitnya yang putih
    mulus dan bersih itu tampak tak kalah mempesonakan.
    “Kalau bangsat
    itu bisa mendapat wanita muda belia, kurasa tubuh dan wajahku lebih
    dari cukup untuk memikat lelaki muda”, gumamnya lagi.
    “Akan kumulai sekarang juga, tapi..”, tiba-tiba pikirannya terhenti.
    “Selama ini aku tak pernah mengenal dunia itu, siapakah yang akan kucari? hmm..”.
    Tangannya
    meraih tas kerja di atas mejanyanya, dibongkarnya isi tas itu dan
    menemukan beberapa kartu nama, sejenak ia memperhatikannya.
    “Dokter
    Felix, lelaki ini doyan nyeleweng tapi apa aku bisa meraih kepuasan
    darinya? Lelaki itu lebih tua dariku”, katanya dalam hati sambil
    menyisihkan kartu nama rekan dokternya itu.
    “Basuki Hermawan, ah…, pejabat pajak yang korup, aku jijik pada orang seperti ini”, ia merobek kartu nama itu.
    “Oh
    ya…, pemuda itu, yah…, pemuda itu, siapakah namanya, Dodi?.., oh
    bukan. Doni?.., oh bukan juga, ah di mana sih aku taruh kartu
    namanya..”, ia sibuk mencari, sampai-sampai semua isi tak kerja itu
    dikeluarkannya namun belum juga ia temukan.
    “Bangsat! Aku lupa di
    mana menaruhnya”, sejenak ia berhenti mencari dan berpikir keras untuk
    mencoba mengingat di mana kartu nama pemuda gagah berumur dua puluh
    limaan itu. Ia begitu menyukai wajah pemuda yang tampak polos dan
    cerdas itu. Ia sudah terbayang betapa bahagianya jika pemuda itu mau
    diajak berselingkuh.
    “Ahaa! Ketemu juga kau!”, katanya setengah
    berteriak saat melihat kartu nama dengan logo Hilton International. Ia
    beranjak berdiri dan meraih hand phone, sejenak kemudian ia sudah
    tampak berbicara.
    “Halo, dengan Edo…, maaf Bapak Edo?”.
    “Ya benar, saya Edo tapi bukan Bapak Edo, anda siapa”, terdengar suara ramah di seberang.
    “Ah maaf…, Edo, saya Dokter Miranti, kamu masih ingat? Kita ketemu di Rest Room hotel Hilton International tadi siang”.
    “Oooh, Bu dokter, tentu dong saya ingat. Masa sih saya lupa sama Bu dokter idola saya yang cantik”.
    “Eh kamu bisa saja, Do”.
    “Gimana Bu, ada yang bisa saya bantu?”, tanya Edo beberapa saat setelah itu.
    “Aku
    ingin membicarakan tentang seminar minggu depan untuk mempersiapkan
    akomodasinya, untuk itu sepertinya kita perlu berbicara”.
    “No problem, Bu. Kapan ibu ada waktu”.
    “Lho kok jadi nanya aku, ya kapan kamu luang aja dong”.
    “Nggak apa-apa Bu, untuk orang seperti ibu saya selalu siap, gimana kalau besok kita makan siang bersama”.
    “Hmm…, rasanya aku besok ada operasi di rumah sakit. Gimana kalau sekarang saja, kita makan malam”.
    “Wah kebetulan Bu, saya memang lagi lapar. baiklah kalau begitu, saya jemput ibu”.
    “Oohh nggak usah, biar ibu saja yang jemput kamu, kamu di mana?”.
    “wah jadi ngerepotin dong, tapi oke-lah. Saya tunggu saja di Resto Hilton, okay?”.
    “Baik kalau begitu dalam sepuluh menit saya datang”, kata wanita itu mengakhiri percakapannya.
    Lalu
    dengan tergesa-gesa ia mengganti pakaian yang dikenakannya dengan gaun
    terusan dengan belahan di tengah dada. Dengan gesit ia merias wajah dan
    tubuh yang masih tampak menawan itu hingga tak seberapa lama kemudian
    ia sudah tampak anggun.
    “Mbok..!”, ia berteriak memanggil pembantu.
    “Dalem…, Nyaah!”, sahut seorang yang tiba-tiba muncul dari arah dapur.
    “Malam ini ibu ndak makan di rumah, nanti kalau tuan nelpon bilang saja ibu ada operasi di rumah sakit”.
    “Baik, Nyah..”, sahut pembantunya mengangguk.
    Sang dokter itupun berlalu meninggalkan rumahnya tanpa diantar oleh sopir.
    Kini
    sang dokter telah tampak menyantap hidangan makan malam itu bersama
    pemuda tampan bernama Edo yang berumur jauh di bawahnya. Maksud wanita
    itu untuk mengencani Edo tidak dikatakannya langsung. Mereka mula-mula
    hanya membicarakan perihal kontrak kerja antara kantor sang dokter dan
    hotel tempat Edo bekerja. Namun hal itu tidak berlangsung lama, dua
    puluh menit kemudian mereka telah mengalihkan pembicaraan ke arah
    pribadi.
    “Maaf lho, Do. Kamu sudah punya pacar?”, tanya sang dokter.
    “Dulu pernah punya tapi…”, Edo tak melanjutkan kalimatnya.
    “Tapi kenapa, Do?”, sergah wanita itu.
    “Dia
    kawin duluan, ah…, Emang bukan nasib saya deh, dia kawin sama seorang
    om-om senang yang cuma menyenangi tubuhnya. Namanya Rani..”.
    “Maaf kalau ibu sampai membuat kamu ingat sama masa lalu”.
    “Nggak apa-apa kok, Bu. Toh saya sudah lupa sama dia, buat apa cari pacar atau istri yang mata duitan”.
    “Sukurlah kalau begitu, trus sekarang gimana perasaan kamu”.
    “Maksud ibu?”.
    “Perasaan kamu yang dikhianati, apa kamu masih dendam?”, tanya sang dokter seperti merasa ingin tahu.
    “Sama
    si Rani sih nggak marah lagi, tapi sampai sekarang saya masih dendam
    kesumat sama om-om atau pejabat pemerintah yang seperti itu”, jelas Edo
    pada wanita itu sembari menatapnya.
    Sejenak keduanya bertemu
    pandang, Edo merasakan sebuah perasaan aneh mendesir dadanya. Hanya
    beberapa detik saja keduanya saling memandang sampai Edo tersadar siapa
    yang sedang dihadapinya.
    “Ah, ma.., ma.., maaf, Bu. Bicara saya jadi
    ngawur”, kata pemuda itu terpatah-patah.”Oh nggak…, nggak apa-apa
    kok, Do. Aku juga punya problem yang serupa dengan kamu”, jawab wanita
    itu sambil kemudian mulai menceritakan masalah pribadi dalam
    keluarganya. Ia yang kini sudah memiliki dua anak yang bersekolah di
    Amerika itu sedang mengalami masalah yang cukup berat dalam rumah
    tangganya. Dengan penuh emosi ia menceritakan masalahnya dengan
    suaminya yang seorang pejabat pemerintah sekaligus pengusaha terkenal
    itu.
    “Berkali-kali aku mendengar cerita tentang kebejatan moralnya,
    ia pernah menghamili sekertarisnya di kantor, lalu wanita itu ia pecat
    begitu saja dan membayar seorang satpam untuk mengawini gadis itu guna
    menutupi aibnya. Dasar lelaki bangsat”, ceritanya pada Edo.
    “Sekarang
    dia sudah berhubungan lagi dengan seorang wanita pengusaha di luar
    negeri. Baru tadi aku melihatnya bersama dalam sebuah berita di TV”,
    lanjut wanita itu dengan raut muka yang sedih.
    “Sabar, Bu. Mungkin
    suatu saat dia akan sadar. Masa sih dia nggak sadar kalau memiliki
    istri secantik ibu”, ujar Edo mencoba menghiburnya.
    “Aku sudah bosan
    bersabar terus, hatiku hancur, Do. Kamu sudah tahu kan gimana rasanya
    dikhianati? Dibohongi?”, sengitnya sambil menatap pemuda itu dengan
    tatapan aneh. Wanita itu seperti ingin mengatakan sesuatu pada Edo.
    Beberapa
    menit keadaan menjadi vacum. Mereka saling menatap penuh misteri. Dada
    Edo mendesir mendapat tatapan seperti itu, pikirannya bertanya-tanya.
    “Ada
    apa ini?”, gumamnya dalam hati. Namun belum sempat ia menerka apa arti
    tatapan itu, tangannya tiba-tiba merasakan sesuatu yang lembut
    menyentuh, ia terhenyak dalam hati. Desiran dadanya kini berubah
    menjadi getaran keras di jantungnya. Namun belum sempat ia bereaksi
    atas semua itu tangan sang dokter itu telah meremas telapak tangan Edo
    dengan mesra. Kini ia menatap wanita itu, dokter Miranti memberinya
    senyuman, masih misteri.
    “Edo…., kamu dan aku memiliki masalah yang saling berkaitan”, katanya perlahan.
    “Ma…, maksud ibu?”, Edo tergagap.
    “Kehidupan
    cinta kamu dirusakkan oleh generasi seumurku, dan rumah tanggaku rusak
    oleh kehidupan bejat suamiku. Kita sama-sama memiliki beban ingatan
    yang menyakitkan dengan musuh yang sama”.
    “lalu?”.
    “Kenapa tak kamu lampiaskan dendam itu padaku?”.
    “Maksud ibu?”, Edo semakin tak mengerti.
    “Aku
    dendam pada suamiku dan kaum mereka, dan kau punya dendam pada para
    pejabat yang telah mengecewakanmu. Kini kau menemukan aku, lampiaskan
    itu. Kalau mereka bisa menggauli generasimu mengapa kamu nggak
    menggauli kaum mereka? Aku istri pejabat, dan aku juga dikecewakan oleh
    mereka”.
    “Saya masih belum mengerti, Bu”.
    “Maksudku, hmm…, kenapa kita tidak menjalin hubungan yang lebih dekat lagi”, jelas wanita itu.
    Edo
    semakin penasaran, ia memberanikan dirinya bertanya, “Maksud ibu…,
    mm…, ki…, ki…, kita berselingkuh?”, ia berkata sambil
    memberanikan dirinya menatap wanita paruh baya itu.
    “Yah…, kita menjalin hubungan cinta”, jawab dokter Miranti enteng.
    “Tapi ibu wanita bersuami, ibu punya keluarga”.
    “Ya…,
    tapi sudah hancur, tak ada harapan lagi. Kalau suamiku bisa mencicipi
    gadis muda, kenapa aku tidak bisa?”, lanjutnya semakin berani, ia
    bahkan merangkul pundak pemuda itu. Edo hanya terpaku.
    “Ta…, tapi, Bu…”.
    “Seumur
    perkawinanku, aku hanya merasakan derita, Do. Aku ingin kejantanan
    sejati dari seorang pria. Dan pria itu adalah kamu, Do”, lalu ia
    beranjak dari tempat duduknya mendekati Edo. Dengan mesra diberinya
    pemuda itu sebuah kecupan. Edo masih tak bereaksi, ia seperti tak
    mempercayai kejadian itu.
    “Apakah saya mimpi?”, katanya konyol.
    “Tidak, Do. Kamu nggak mimpi, ini aku, Dokter Miranti yang kamu kagumi”.
    “Tapi, Bu.., ibu sudah bersuami”.
    “Tolong jangan katakan itu lagi Edo”.
    Kemudian
    keduanya terpaku lama, sesekali saling menatap. Pikiran Edo berkecamuk
    keras, ia tak tahu harus berkata apa lagi. Sebenarnya ia begitu
    gembira, tak pernah ia bermimpi apapun. Namun ia masih merasa ragu.
    “Apakah segampang ini?”, gumamnya dalam hati.
    “Cantik
    sekali dokter ini, biarpun umurnya jauh lebih tua dariku tapi oh tubuh
    dan wajahnya begitu menggiurkan, sudah lama aku memimpikan bercinta
    dengan wanita istri pejabat seperti dia. Tapi…”, hatinya
    bertanya-tanya. Sementara suasana vacum itu berlangsung begitu lama.
    Kini mereka duduk dalam posisi saling bersentuhan. Baru sekitar tiga
    puluh menit kemudian dokter Miranti tiba-tiba berdiri.
    “Do, saya
    ingin ngobrol lebih banyak lagi, tapi nggak di sini, kamu temui saya di
    Hotel Hyatt. Saya akan memesan kamar di situ. Selamat malam”, serunya
    kemudian berlalu meninggalkan Edo yang masih terpaku.
    Pemuda itu masih terlihat melamun sampai seorang pelayan restoran datang menyapanya.
    “Pak Edo, bapak mau pesan lagi?”.
    “Eh…, oh nggak…, nggak, aduh saya kok ngelamun”, jawabnya tergagap mengetahui dirinya hanya terduduk sendiri.
    “Teman Bapak sudah tiga puluh menit yang lalu pergi dari sini”, kata pelayan itu.
    “Oh ya?”, sahut Edo seperti orang bodoh. Pelayan itu mengangkat bahunya sambil berlalu.
    “Eh…, billnya!”, panggil Edo.
    “Sudah dibayar oleh teman Bapak”, jawab pelayan itu singkat.
    Kini Edo semakin bingung, ia masih
    merasakan getaran di dadanya. Antara percaya dan tidak. Ia kemudian
    melangkah ke lift dan turun ke tempat parkir. Hanya satu kalimat dokter
    Miranti yang kini masih terngiang di telinganya. Hotel Grand Hyatt!
    Dengan
    tergesa-gesa ia menuju ke arah mobilnya. Perjalanan ke hotel yang
    dimaksud wanita itu tak terasa olehnya, kini ia sudah sampai di depan
    pintu kamar yang ditanyakannya pada receptionis. Dengan gemetar ia
    menekan bel di pintu kamar itu, pikirannya masih berkecamuk bingung.

    “Masuk,
    Do”, sambut dokter Miranti membuka pintu kamarnya. Edo masuk dan
    langsung menatap dokter Miranti yang kini telah mengenakan gaun tidur
    sutra yang tipis dan transparan. Ia masih tampak terpaku.
    “Do, ini
    memang hari pertemuan kita yang pertama tapi apakah salahnya kalau kita
    sama-sama saling membutuhkan”, kata dokter Miranti membuka pembicaraan.
    “Cobalah
    realistis, Do. Kamu juga menginginkan ini kan?”, lanjut wanita itu
    kemudian mendudukkan Edo di pinggir tempat tidur luas itu.
    Edo masih tampak bingung sampai sang dokter memberinya kecupan di bibirnya, ia merasakan seperti ada dorongan untuk membalasnya.
    “Oh…,
    Bu”, desahnya sambil kemudian merangkul tubuh bongsor dokter Miranti.
    Dadanya masih bergetar saat merasakan kemesraan wanita itu. Dokter
    Miranti kemudian memegang pundaknya dan melucuti pakaian pemuda itu.
    Dengan perlahan Edo juga memberanikan diri melepas ikatan tali gaun
    tidur sutra yang dikenakan sang dokter. Begitu tampak buah dada dokter
    Miranti yang besar dan ranum itu, Edo terhenyak.
    “Oh…, indahnya
    susu wanita ini”, gumamnya dalam hati sambil lalu meraba payudara besar
    yang masih dilapisi BH itu. Tangan kirinya berusaha melepaskan kancing
    BH di punggung dokter Miranti. Ia semakin terbelalak saat melihat
    bentuk buah dada yang kini telah tak berlapis lagi. Tanpa menunggu lagi
    nafsu pemuda itu bangkit dan ia segera meraih buah dada itu dan
    langsung mengecupnya. Dirasakannya kelembutan susu wanita cantik paruh
    baya itu dengan penuh perasaan, ia kini mulai menyedot puting susu itu
    bergiliran.
    “Ooohh…, Edo…, nikmat sayang…., mm sedot terus
    sayang ooohh, ibu sayang kamu, Do…, ooohh”, desah dokter Miranti yang
    kini mendongak merasakan sentuhan lidah dan mulut Edo yang menggilir
    kedua puting susunya. Tangan wanita itupun mulai meraih batang kemaluan
    Edo yang sudah tegang sedari tadi, ia terhenyak merasakan besar dan
    panjangnya penis pemuda itu.
    “Ohh…, besarnya punya kamu, Do.
    Tangan ibu sampai nggak cukup menggenggamnya”, seru dokter Miranti
    kegirangan. Ia kemudian mengocok-ngocokkan penis itu dengan tangannya
    sambil menikmati belaian lidah Edo di sekitar payudara dan lehernya.
    Kemaluan
    Edo yang besar dan panjang itu kini tegak berdiri bagai roket yang siap
    meluncur ke angkasa. Pemuda yang sebelumnya belum pernah melakukan
    hubungan seks itu semakin terhenyak mendapat sentuhan lembut pada
    penisnya yang kini tegang. Ia asyik sekali mengecupi sekujur tubuh
    wanita itu, Edo merasakan sesuatu yang sangat ia dambakan selama ini.
    Ia tak pernah membayangkan akan dapat menikmati hubungan seks dengan
    wanita yang sangat ia kagumi ini, ia yang sebelumnya bahkan hanya
    menonton film biru itu kini mempraktekkan semua yang ia lihat di
    dalamnya. Hatinya begitu gembira, sentuhan-sentuhan lembut dari tangan
    halus dokter Miranti membuatnya semakin terlena.
    Dengan mesra
    sekali wanita itu menuntun Edo untuk menikmati sekujur tubuhnya yang
    putih mulus itu. Dituntunnya tangan pemuda itu untuk membelai lembut
    buah dadanya, lalu bergerak ke bawah menuju perutnya dan berakhir di
    permukaan kemaluan wanita itu. Edo merasakan sesuatu yang lembut dan
    berbulu halus dengan belahan di tengahnya. Pemuda itu membelainya
    lembut sampai kemudian ia merasakan cairan licin membasahi permukaan
    kemaluan dokter Miranti. Ia menghentikan gerakannya sejenak, lalu
    dengan perlahan sang dokter membaringkan tubuhnya dan membuka pahanya
    lebar hingga daerah kemaluan yang basah itu terlihat seperti menantang
    Edo. Pemuda itu terbelalak sejenak sebelum kemudian bergerak menciumi
    daerah itu, jari tangan dokter Miranti kemudian menarik bibir
    kemaluannya menjadi semakin terbuka hingga menampakkan semua isi dalam
    dinding vaginanya. Edo semakin terangsang, dijilatinya semua yang
    dilihat di situ, sebuah benda sebesar biji kacang di antara dinding
    vagina itu ia sedot masuk ke dalam mulutnya. Hal itu membuat dokter
    Miranti menarik nafas panjang merasakan nikmat yang begitu hebat.
    “Ohh…, hmm…, Edo, sayang, ooohh”, desahnya mengiringi bunyi ciplakan bibir Edo yang bermain di permukaan vaginanya.
    Dengan
    gemas Edo menjilati kemaluan itu, sementara dokter Miranti hanya bisa
    menjerit kecil menahan nikmat belaian lidah Edo. Ia hanya bisa
    meremas-remas sendiri payudaranya yang besar itu sambil sesekali
    menarik kecil rambut Edo.
    “Aduuuh sayang, ooohh nikmaat…,
    sayang…, oooh Edo…, ooohh pintarnya kamu sayang…, ooohh
    nikmatnya…, ooohh sedooot teruuusss…, ooohh enaakkk…, hmm…,
    ooohh”, jeritnya terpatah-patah.
    Puas menikmati vagina itu, Edo
    kembali ke atas mengarahkan bibirnya kembali ke puting susu dokter
    Miranti. Sang dokterpun pasrah saja, ia membiarkan dirinya menikmati
    permainan Edo yang semakin buas saja. Daerah sekitar puting susunya
    tampak sudah kemerahan akibat sedotan mulut Edo.
    “ooohh, Edo sayang.
    Berikan penis kamu sama ibu sayang, ibu ingin mencicipinya”, pinta
    wanita itu sambil beranjak bangun dan menggenggam kemaluan Edo.
    Tangannya tampak bahkan tak cukup untuk menggenggamnya, ukurannya yang
    super besar dan panjang membuat dokter Miranti seperti tak percaya pada
    apa yang dilihatnya. Wanita itu mulai mengulum penis Edo, mulutnya
    penuh sesak oleh kepala penis yang besar itu, hanya sebagian kecil saja
    kemaluan Edo yang bisa masuk ke mulutnya sementara sisanya ia
    kocok-kocokkan dengan telapak tangan yang ia lumuri air liurnya. Edo
    kini menikmati permainan itu.
    “Auuuhh…, Bu, ooohh…, enaakk aahh
    Bu dokter…, oooh nikmat sekali…, mm…, oooh enaknya…, ooohh…,
    ssstt…, aahh”, desah pemuda itu mulai menikmatinya.
    Sesaat
    kemudian, Dokter Miranti melepaskan kemaluan yang besar itu lalu
    membaringkan dirinya kembali di pinggiran tempat tidur. Edo meraih
    kedua kaki wanita itu dan langsung menempatkan dirinya tepat di depan
    selangkangan dokter Miranti yang terbuka lebar. Dengan sangat perlahan
    Edo mengarahkan kemaluannya menuju liang vagina yang menganga itu dan,
    “Sreett.., bleeesss”.
    “Aduuuhh…, aauuu Edooo…, sa.., sa..,
    sakiiittt…, vaginaku robeeek aahh…, sakiiit”, teriak dokter Miranti
    merasakan vaginanya yang ternyata terlalu kecil untuk penis Edo yang
    super besar, ia merasakan vaginanya robek oleh terobosan penis Edo.
    Lebih dahsyat dari saat ia mengalami malam pertamanya.
    “Edo sayang, punya kamu besar sekali. Vaginaku rasanya robek do, main yang pelan aja ya, sayang?”, pintanya lalu pada Edo.
    “Ouuuhh…,
    ba.., ba.., baik, Bu”, jawab Edo yang tampak sudah merasa begitu nikmat
    dengan masuknya penis ke dalam vagina dokter Miranti.
    Kini
    dibelainya rambut sang dokter sambil menciumi pipinya yang halus dengan
    mesra. Pemuda itu mulai menggerakkan penisnya keluar masuk vagina
    dokter Miranti dengan perlahan sekali sampai beberapa menit kemudian
    rasa sakit yang ada dalam vagina wanita itu berubah menjadi nikmat,
    barulah Edo mulai bergerak menggenjot tubuh wanita itu dengan agak
    cepat. Gerakan tubuh mereka saling membentur mempertemukan kedua
    kemaluan mereka. Nafsu birahi mereka tampak begitu membara dari gerakan
    yang semakin lama semakin menggairahkan, teriakan kecil kini telah
    berubah menjadi desah keras menahan nikmatnya hubungan seks itu.
    Keduanya
    tampak semakin bersemangat, saling menindih bergilir menggenjot untuk
    meraih tahap demi tahap kenikmatan seks itu. Edo yang baru pertama kali
    merasakan nikmatnya hubungan seks itu benar-benar menikmati keluar
    masuknya penis besar itu ke dalam liang vagina sang dokter yang semakin
    lama menjadi semakin licin akibat cairan kelamin yang muali melumasi
    dindingnya. Demikian pula halnya dengan dokter Miranti. Ia begitu
    tampak kian menikmati goyangan tubuh mereka, ukuran penis Edo yang
    super besar dan terasa merobek liang vaginanya itu kini menjadi sangat
    nikmat menggesek di dalamnya. Ia berteriak sejadi-jadinya, namun bukan
    lagi karena merasa sakit tapi untuk mengimbangi dahsyatnya kenikmatan
    dari penis pemuda itu. Tak pernah ia bayangkan akan dapat menemukan
    penis sebesar dan sepanjang milik Edo, penis suaminya yang bahkan ia
    tahu sering meminum obat untuk pembesar alat kelamin tak dapat
    dibandingkan dengan ukuran penis Edo. Baru pertama kali ini ia melihat
    ada kemaluan sebesar itu, panjang dan keras sekali.
    Bunyi
    teriakan nyaring bercampur decakan becek dari kedua alat kelamin mereka
    memenuhi ruangan luas di kamar suite hotel itu. Desahan mereka menahan
    kenikmatan itu semakin memacu gerakan mereka menjadi kian liar.
    “Ooohh…, ooohh…, ooohh…, enaak…, oooh…, enaknya bu…, ooohh nikmat sekali ooohh”, desah Edo.
    “mm…,
    aahh…, goyang terus, Do…, ibu suka sama punya kamu, ooohh…,
    enaknya, sayang ooohh…, ibu sayang kamu Edo…, ooohh”, balas dokter
    Miranti sambil terus mengimbangi genjotan tubuh pemuda itu dengan
    menggoyang pinggulnya.
    Lima belas menit lebih mereka
    melakukannya dengan posisi itu dimana Edo menindih tubuh sang dokter
    yang mengapit dengan pahanya. Kini saatnya mereka ingin mengganti gaya.
    “Ouuuhh Edo sayang, ganti gaya yuuuk?”, ajak sang dokter sambil menghentikan gerakannya.
    “Baik, Bu”, jawab pemuda itu mengiyakan.
    “Kamu
    di bawah ya sayang? Ibu pingin goyang di atas tubuh kamu”, katanya
    sambil menghentikan gerakan tubuh Edo, pemuda itu mengangguk sambil
    perlahan melepaskan penisnya dari jepitan vagina dokter Miranti.
    Kemudian ia duduk sejenak mengambil nafas sambil memandangi tubuh
    wanita itu.
    “uuuh, cantiknya wanita ini”, ia bergumam dalam hati lalu berbaring menunggu dokter Miranti yang sudah siap menungganginya.
    Kini
    wanita itu berjongkok tepat di atas pinggang Edo, ia sejenak
    menggenggam kemaluan pemuda itu sebelum kemudian memasukkannya kembali
    ke dalam liang vaginanya dengan perlahan dan santai. Kembali ia
    mendesah merasakan penis itu masuk menembus dinding kemaluannya dan
    menerobos masuk sampai dasar liang vagina yang terasa sempit oleh Edo.
    “Ooouuuhh…”, desahnya memulai gerakan menurun-naikkan pinggangnya di atas tubuh pemuda itu.
    Edo
    meraih payudara montok yang bergantungan di dada sang dokter, sesekali
    ia meraih puting susu itu dengan mulutnya dan menyedot-nyedot nikmat.
    Keduanya
    kembali terlibat adegan yang lebih seru lagi, dengan liar dokter
    Miranti menggoyang tubuh sesuka hati, ia tampak seperti kuda betina
    yang benar-benar haus seks. Ia yang baru kali ini menikmati hubungan
    seks dengan lelaki selain suaminya itu benar-benar tampak bergairah,
    ditambah dengan ukuran kemaluan Edo yang super besar dan panjang
    membuatnya menjadi begitu senang. Dengan sepenuh hati ia raih
    kenikmatan itu detik demi detik. Tak semili meterpun ia lewatkan
    kenikmatan penis Edo yang menggesek dinding dalam kemaluannya. Ia
    semakin berteriak sejadi-jadinya.
    “Aahh…, ooohh…, aahh…,
    ooohh…, ooohh…, enaak…, ooohh…, nikmaatt…, sekali…, Edo
    sayaanngg…, ooohh Edo…, Do…, enaak sayang ooohh”, teriaknya tak
    karuan dengan gerakan liar di atas tubuh pemuda itu sembari menyebut
    nama Edo. Ia begitu menyukai pemuda itu.
    “Ooohh Bu dokter…, ooohh…, ibu juga pintar mainnya…, ooohh, Bu dokter cantik sekali”, balas Edo.
    “Remas
    susu ibu, Do. ooohh…, sedot putingnya sayang…, ooohh pintarnya
    kamu, oooh…, ibu senang sama punya kamu, ooohh…, nikmatnya sayang,
    ooohh…, panjang sekali, ooohh…, enaak”, lanjut sang dokter dengan
    gerakan yang semakin liar. Edo mengimbangi gerakan itu dengan
    mengangkat-angkat pantatnya ke arah pangkal paha dokter Miranti yang
    mengapitnya itu. Ia terus menghujani daerah dada sang dokter yang
    tampak begitu disenanginya, puting susu itupun menjadi kemerahan akibat
    sedotan mulut Edo yang bertubi-tubi.
    Namun beberapa saat
    kemudian sang dokter tampak tak dapat lagi menahan rasa nikmat dari
    penis pemuda itu. Ia yang selama dua puluh menit menikmati permainan
    itu dengan garang, kini mengalami ejakulasi yang begitu hebat.
    Gerakannya berubah semakin cepat dan liar, diremasnya sendiri buah dada
    montoknya sambil lebih keras lagi menghempaskan pangkal selangkangannya
    pada penis Edo hingga sekitar dua menit berlalu ia berteriak panjang
    sebelum kemudian menghentikan gerakannya dan memeluk tubuh pemuda itu.
    “Ooohh…,
    ooohh…, aauu, aku keluarr…, Edo…, aahh…, aah…, aku, nggak
    kuat lagi aku…, Do…, ooohh…, enaaknya…, sayang, ooohh…, Edo
    sayang…, hhuuuh…, ibu nggak tahan lagi”, jeritnya panjang sambil
    memeluk erat tubuh Edo, cairan kelamin dalam rahimnya muncrat memenuhi
    liang vagina di mana penis Edo masih tegang dan keras.
    “Ooohh nikmat
    bu…, ooohh punya ibu tambah licin dan nikmat…, ooohh…, nikmat Bu
    dokter, ooohh…, semakin nikmat sekali Bu dokter, ooohh…, enaak,
    mm…, ooohh…, uuuhh…, ooohh…, ooohh, nikmat sekali…, uuuhh…,
    Bu dokter cantik…, aauuuhh…, ssshh nikmat bu”, desah Edo merasakan
    kenikmatan dalam liang vagina sang dokter yang tengah mengalami
    ejakulasi, vagina itu terasa makin menjepit penisnya yang terus saja
    menggesek dinding vagina itu. Kepala penisnya yang berada jauh di dalam
    liang vagina wanita itu merasakan cairan hangat menyembur dan membuat
    liang vagina sang dokter terasa semakin nikmat dan licin.
    Pemuda
    itu membalas pelukan dokter Miranti yang tampak sudah tak sanggup lagi
    menggoyang tubuhnya di atas tubuh Edo. Sejenak gerakan mereka terhenti
    meski Edo sedikit kecewa karena saat itu ia rasakan vagina sang dokter
    sangat nikmat. Ia berusaha menahan birahinya yang masih saja membara
    dengan memberi ciuman mesra pada wanita cantik itu.
    “Oh Edo sayang,
    kamu kuat sekali mainnya sayang, aku puas sekali, ibu betul-betul
    merasa seperti berada di tempat yang paling indah dengan sejuta
    kenikmatan cinta. Kamu betul-betul jago”, katanya pada Edo sambil
    memandang wajah pemuda itu tepat di depan matanya, dipeluknya erat
    pinggang Edo untuk menahan goyangan penis di selangkangannya.
    Sejenak
    Dokter Miranti beristirahat di pelukan pemuda itu, ia terus memuji
    kekuatan dan kejantanan Edo yang sebelumnya belum pernah ia dapatkan
    sekalipun dari suaminya. Matanya melirik ke arah jam dinding di kamar
    itu.
    “Edo..”, sapanya memecah keheningan sesaat itu.
    “Ya, bu?”, jawab Edo sambil terus memberi kecupan pada pipi dan muka sang dokter yang begitu ia senangi.
    “Sudah satu jam lamanya kita bermain, kamu hebat sekali, Do”, lanjutnya terheran-heran.
    “Saya baru sekali ini melakukannya, Bu”, jawab Edo.
    “Ah masa sih, bohong kamu, Do”, sergah dokter Miranti sambil membalas ciuman Edo di bibirnya.
    “Benar kok, Bu. Sumpah saya baru kali ini yang pertama kalinya”, Edo bersikeras.
    “Tapi kamu mainnya kok hebat banget? Dari mana kamu tahu gaya-gaya yang tadi kita lakukan”, lanjut sang dokter tak percaya.
    “Saya hanya menonton film, Bu”, jawab pemuda itu.
    Beberapa menit mereka ngobrol diselingi
    canda dan cumbuan mesra yang membuat birahi sang dokter bangkit untuk
    mengulangi permainannya. Dirasakannya dinding vagina yang tadinya
    merasa geli saat mengalami ejakulasi itu mulai terangsang lagi. Edopun
    merasakan gejala itu dari denyutan vagina sang dokter. Edo melepaskan
    pelukannya, lalu menempatkan diri tepat di belakang punggung sang
    dokter, tangannya nenuntun penis besar itu ke arah permukaan lubang
    kemaluan dokter Miranti yang hanya pasrah membiarkannya mengatur gaya
    sesuka hati. Pemuda itu kini berada tepat di belakang menempel di
    punggung sang dokter, lalu perlahan sekali ia memasukkan penis besarnya
    ke dalam liang sang dokter dari arah belakang pantatnya.

    “Ooohh,
    pintarnya kamu Edo…, oooh ibu suka gaya ini, mm…, goyang
    teruuuss…, aahh, nikmat do, ooohh…, sampai pangkalnya terusss,
    ooohh…, enaak..tarik lagi sayang ooohh, masukin lagii ooohh, sampai
    pangkal nya Edo…, ooohh, sayang nikmat sekali, ooohh…, oohh Edo…,
    ooohh…, mm…, Edo…, sayang”, desah sang dokter begitu
    merasakannya, atas bawah tubuhnya merasakan kenikmatan itu dengan
    sangat sempurna. Tangan Edo meremas susunya sementara penis pemuda itu
    tampak jelas keluar masuk liang vaginanya. Keduanya kembali terlihat
    bergoyang mesra meraih detik demi detik kenikmatan dari setiap gerakan
    yang mereka lakukan. Demikian juga dengan Edo yang menggoyang dari arah
    belakang itu, ia terus meremas payudara montok sang dokter sambil
    memandang wajah cantik yang membuatnya semakin bergairah. Kecantikan
    Dokter Miranti yang sangat menawan itu benar-benar membuat gairah
    bercinta Edo semakin membara. Dengan sepenuh hati digoyangnya tubuh
    bahenol dan putih mulus itu sampai-sampai suara decakan pertemuan
    antara pangkal pahanya dan pantat besar sang dokter terdengar keras
    mengiringi desahan mulut mereka yang terus mengoceh tak karuan
    menikmati hebatnya rasa dari permainan itu.
    Sekitar dua puluh
    menit berlalu tampak kedua insan itu sudah tak dapat menahan lagi rasa
    nikmat dari permainan mereka hingga kini keduanya semakin berteriak
    keras sejadi-jadinya. Tampaknya mereka ingin segera menyelesaikan
    permainannya secara bersamaan.
    “Huuuh…, ooohh…, ooohh…,
    aahh…, ooohh…, nikmat sekali Do, goyang lagi sayang, ooohh…, ibu
    mau keluar sebentar lagi sayang, ooohh…, goyang yang keras lagi
    sayang, ooohh…, enaknya penis kamu, ooohh…, ibu nggak kuat lagi
    oooh”, jerit dokter Miranti.
    “Uuuhh…, aahh…, ooohh, mm…,
    aah…, saya juga mau keluar Bu, ooohh…, dokter Miranti sayaang,
    ooohh…, mm…, enaakk sekali, ooohh…, ooohh, dokter sayang,
    ooohh…, dokter cantik, ooohh…, enaakk…, dokter dokter sayang,
    ooohh…, vagina dokter juga nikmat sekali, oooh”, teriak Edo juga.
    “Ooohh enaknya sayang, ooohh…, pintar kamu sanyang, ooohh…, kocok terus, oooh…, genjot yang keraass, ooohh”.
    “Ooohh dokter, susunya…, ooohh…, saya mau sedot, ooohh”, Edo meraih susu sang dokter lalu menyedotnya dari arah samping.
    “Oooh
    Edo pintarnya kamu sayang, ooohh…, nikmatnya, ooohh…, ibu sebentar
    lagi keluar sayang, ooohh…, keluarin samaan yah, ooohh”, ajak sang
    dokter.
    “Saya juga mau keluar Bu, yah kita samaan Bu dokter,
    ooohh…, vagina ibu nikmat sekali, ooohh…, mm…, enaknya, ooohh”,
    teriak Edo sambil mempercepat lagi gerakannya.
    Namun beberapa saat kemudian dokter Miranti berteriak panjang mengakhiri permainannya.
    “Aauuuwww…,
    ooohh…, Edooo, ibu nggak tahan lagiii…, keluaar…, aauhh nikmatnya
    sayang, ooohh”, jeritnya panjang sambil membiarkan cairan kelaminnya
    kembali menyembur ke arah penis Edo yang masih menggenjot dalam liang
    kemaluannya. Edo merasakan gejala itu lalu berusaha sekuat tenaga untuk
    membuat dirinya keluar juga, beberapa saat ia merasakan vagina sang
    dokter menjepit kemaluannya keras diiringi semburan cairan mani yang
    deras ke arah penisnya. Dan beberapa saat kemudian ia akhirnya
    berteriak panjang meraih klimaks permainan.
    “Ooohh…, aahh…,
    oooww…,aahh, dokter…, Miranti…, sayyaang…, oooh…, enaak
    sekalii…, ooohh saya juga keluaarr, ooohh”, jeritnya panjang sesaat
    setelah sang dokter mengakhiri teriakannya.
    “Edo sayang, ooohh…,
    jangan di dalam sayang, ooohh…, ibu nggak pakai alat kontrasepsi,
    ooohh…, sini keluarin di luar Edo, sayang berikan pada ibu, oooh…,
    enaknya, cabut sayang. Semprotkan ke Ibu, ooohh”, pintanya sembari
    merasakan nikmatnya denyutan penis Edo. Ia baru sadar dirinya tak
    memakai alat kontrasepsi untuk mencegah kehamilan. Didorongnya tubuh
    Edo sambil meraih batang penis yang sedang meraih puncak kenikmatan itu.
    Kemudian
    pemuda itu mencabut penisnya dengan tergesa-gesa dari liang kemaluan
    sang dokter dan, “Cropp bresss…, crooottt.., crooott.., creeess”,
    cairan kelamin Edo menyembur ke arah wajah sang dokter. Edo berdiri
    mengangkang di atas tubuhnya dan menyemburkan air maninya yang sangat
    deras dan banyak ke arah badan dan muka sang dokter. Sebagian cairan
    itu bahkan masuk ke mulut sang dokter.
    “Ohh…, sayang,terus
    ooohh…, berikan pada ibu, ooohh…, hmm…, nyam…, enaknya,
    ooohh…, semprotkan pada ibu, ooohh…, ibu ingin meminumnya Edo,
    ooohh…, enaakkknya sayang, oooh…, lezat sekali”, jerit wanita itu
    kegirangan sambil menelan habis cairan mani pemuda itu ke dalam
    mulutnya, bahkan belum puas dengan itu ia kembali meraih batang penis
    Edo dan menyedot keras batang kemaluannya dan menelan habis sisa-sisa
    cairan itu hingga Edo merasakan semua cairannya habis.
    “Ooohh Bu
    dokter, ooohh dokter, saya puas sekali bu”, kata Edo sembari merangkul
    tubuh sang dokter dan kembali berbaring di tempat tidur.
    “Kamu kuat
    sekali Edo, sanggup membuat ibu keluar sampai dua kali, kamu
    benar-benar hebat dan pintar mainnya, ibu suka sekali sama kamu. Nggak
    pernah sebelumnya ibu merasakan kenikmatan seperti ini dengan suami
    ibu. Dia bahkan tak ada apa-apanya dibanding kamu”, seru sang dokter
    pada Edo sambil mencium dada pemuda itu.
    “Saya juga benar-benar puas
    sekali, Bu. Ibu memberikan kenikmatan yang nggak pernah saya rasakan
    sebelumnya. Sekarang saya tahu bagaimana nikmatnya bercinta”, jawab Edo
    sekenanya sambil membalas ciuman dokter Miranti. Tangannya membelai
    halus permukaan buah dada sang dokter dan memilin-milin putingnya yang
    lembut.
    “Tapi apakah ibu tidak merasa berdosa pada suami Ibu, kita
    sedang berselingkuh dan ibu punya keluarga”, sergah Edo sambil menatap
    wajah manis dokter Miranti.
    “Apakah aku harus setia sampai mati sementara dia sekarang mungkin sedang asyik menikmati tubuh wanita-wanita lain?”.
    “Benarkah?”.
    “Aku
    pernah melihatnya sendiri, Do. Waktu itu kami sedang berlibur di
    Singapura bersama kedua anakku”, lanjut sang dokter memulai ceritanya
    pada Edo.
    Edo hanya terdiam mendengar cerita dokter Miranti. Ia
    menceritakan bagaimana suaminya memperkosa seorang pelayan hotel tempat
    mereka menginap waktu ia dan anak-anaknya sedang berenang di kolam
    hotel itu. Betapa terkejutnya ia saat menemukan sang pelayan keluar
    dari kamarnya sambil menangis histeris dan terisak menceritakan
    semuanya pada manajer hotel itu dan dirinya sendiri.
    “Kamu bisa
    bayangkan, Do. Betapa malunya ibu, sudah bertahan-tahun kami hidup
    bersama, dengan dua orang anak, masih saja dia berbuat seperti itu,
    dasar lelaki kurang ajar, bangsat dia itu…”, ceritanya pada Edo
    dengan muka sedih.
    “Maaf kalau saya mengungkap sisi buruk kehidupan ibu dan membuat ibu bersedih”.
    “Tak apa, Do. Ini kenyataan kok”.
    Dilihatnya
    sang dokter meneteskan air mata, “Saya tidak bermaksud menyinggung ibu,
    oh..”, Edo berusaha menenangkan perasaannya, ia memeluk tubuh sang
    dokter dan memberinya beberapa belaian mesra. Tak disangkanya dibalik
    kecantikan wajah dan ketenaran sang dokter ternyata wanita itu memiliki
    masalah keluarga yang begitu rumit.
    “Tapi saya yakin dengan tubuh
    dan wajah ibu yang cantik ini ibu bisa dapatkan semua yang ibu
    inginkan, apalagi dengan permaian ibu yang begitu nikmat seperti yang
    baru saja saya rasakan, bu”, Kata Edo menghibur sang dokter.
    “Ah kamu bisa aja, Do. Ibu kan sudah nggak muda lagi, umur ibu sekarang sudah empat puluh tiga tahun, lho?”.
    “Tapi,
    Bu terus terang saja saya lebih senang bercinta dengan wanita dewasa
    seperti ibu. Saya suka sekali bentuk tubuh ibu yang bongsor ini”,
    lanjut pemuda itu sambil memberikan ciuman di pipi sang dokter, ia
    mempererat pelukannya.
    “Kamu mau pacaran sama ibu?”.
    “Kenurut ibu apa yang kita lakukan sekarang ini bukannya selingkuh?”, tanya Edo.
    “Kamu benar suka sama ibu?”.
    “Benar, Bu. Sumpah saya suka sama Ibu”, Edo mengecup bibir wanita itu.
    “Oh Edo sayang, ibu juga suka sekali sama kamu. Jangan bosan yah, sayang?”.
    “Nggak
    akan, bu. Ibu begitu cantik dan molek, masa sih saya mau bosan. Saya
    sama sekali tidak tertarik pada gadis remaja atau yang seumur. Ibu
    benar-benar sesuai seperti yang saya idam-idamkan selama ini. Saya
    selalu ingin bermain cinta dengan ibu-ibu istri pejabat. Tubuh dan
    goyang Bu dokter sudah membuat saya benar-benar puas”.
    “Mulai
    sekarang kamu boleh minta ini kapan saja kamu mau, Do. Ibu akan berikan
    padamu”, jawab sang dokter sambil meraba kemaluan Edo yang sudah tampak
    tertidur.
    “Terima kasih, Bu. Ibu juga boleh pakai saya kapan saja ibu suka”.
    “Ibu sayang kamu, Do”.
    “Saya juga, Bu. oooh dokter Miranti…”, desah pemuda itu kemudian merasakan penisnya teremas tangan sang dokter.
    “Oooh Edo, sayang..”, balas dokter Miranti menyebut namanya mesra.
    Kembali
    mereka saling berangkulan mesra, tangan mereka meraih kemaluan
    masing-masing dan berusaha membangkitkan nafsu untuk kembali bercinta.
    Edo meraih pantat sang dokter dengan tangan kirinya, mulutnya menyedot
    bibir merah sang dokter. “Oooh dokter Miranti, sayang…, ooohh”, desah
    Edo merasakan penisnya yang mulai bangkit lagi merasakan remasan dan
    belaian lembut tangan sang dokter. Sementara tangan pemuda itu sendiri
    kini meraba permukaan kemaluan dokter Miranti yang mulai terasa basah
    lagi.
    “ooohh…, uuuhh Edo sayang…, nikmat.sayang, ooohh Edo…,
    Ibu pingin lagi, Do, ooohh…, kita main lagi sayang, ooohh”, desah
    manja dan menggairahkan terdengar dari mulut dokter Miranti.
    “Uuuhh…,
    saya juga kepingin lagi Bu dokter, ooohh…, Ibu cantik sekali,
    oooh…, dokter Miranti sayang, ooohh…, remas terus penis saya Bu,
    ooohh”.
    “Ibu suka penis kamu Do, bentuknya panjang dan besar sekali.
    ooouuuhh…, baru pertama ini ibu merasakan penis seperti ini”, suara
    desah dokter miranti memuji kemaluan Edo.
    Begitu mereka tampak
    tak tahan lagi setelah melakukan pemanasan selama lima belas menit,
    lalu kembali keduanya terlibat permainan seks yang hebat sampai
    kira-kira pukul empat dini hari. Tak terasa oleh mereka waktu berlalu
    begitu cepat hingga membuat tenaga mereka terkuras habis. Dokter
    Miranti berhasil meraih kepuasan sebanyak empat kali sebelum kemudian
    Edo mengakhiri permainannya yang selalu lama dan membuat sang dokter
    kewalahan menghadapinya. Kejantanan pemuda itu memang tiada duanya. Ia
    mampu bertahan selama itu, tubuh sang dokter yang begitu membuatnya
    bernafsu itu digoyangnya dengan segala macam gaya yang ia pernah lihat
    dalam film porno. Semua di praktikkan Edo, dari ‘doggie style’ sampai
    69 ia lakukan dengan penuh nafsu. Mereka benar-benar mengumbar nafsu
    birahi itu dengan bebas. Tak satupun tempat di ruangan itu yang
    terlewat, dari tempat tidur, kamar mandi, bathtub, meja kerja, toilet
    sampai meja makan dan sofa di ruangan itu menjadi tempat pelampiasan
    nafsu seks mereka yang membara.
    Akhirnya setelah melewati ronde
    demi ronde permainan itu mereka terkulai lemas saling mendekap setelah
    Edo mengalami ejakulasi bersamaan dengan orgasme dokter Miranti yang
    sudah empat kali itu. Dengan saling berpelukan mesra dan kemaluan Edo
    yang masih berada dalam liang vagina sang dokter, mereka tertidur pulas.
    Malam
    itu benar-benar menjadi malam yang sangat indah bagi keduanya. Edo yang
    baru pertama kali merasakan kehangatan tubuh wanita itu benar-benar
    merasa puas. Dokter Miranti telah memberinya sebuah kenikmatan yang
    selama ini sangat ia dambakan. Bertahun-tahun lamanya ia bermimpi untuk
    dapat meniduri istri pejabat seperti wanita ini, kini dokter Miranti
    datang dengan sejuta kenikmatan yang ia berikan. Semalam suntuk penuh
    ia lampiaskan nafsu birahinya yang telah terpendam sedemikian lama itu
    di tubuh sang dokter, ia lupa segalanya. Edo tak dapat mengingat sudah
    berapa kali ia buat sang dokter meronta merasakan klimaks dari hubungan
    seks itu. Cairan maninya terasa habis ia tumpahkan, sebagian di mulut
    sang dokter dan sebagian lagi disiramkan di sekujur tubuh wanita itu.
    Begitupun
    dengan dokter Miranti, baginya malam yang indah itu adalah malam
    pertama ia merasakan kenikmatan seksual yang sesungguhnya. Ia yang tak
    pernah sekalipun mengalami orgasme saat bermain dengan suaminya, kini
    merasakan sesuatu yang sangat hebat dan nikmat. Kemaluan Edo dengan
    ukuran super besar itu telah memberinya kenikmatan maha dahsyat yang
    takkan pernah ia lupakan. Belasan kali sudah Edo membuatnya meraih
    puncak kenikmatan senggama, tubuhnya seperti rontok menghadapi
    keperkasaan anak muda itu. Umur Edo yang separuh umurnya itu membuat
    suasana hatinya sangat bergairah. Bagaimana tidak, seorang pemuda
    tampan dan perkasa yang berumur jauh di bawahnya memberinya kenikmatan
    seks bagai seorang ksatria gagah perkasa. Ia sungguh-sungguh puas lahir
    batin sampai-sampai ia rasakan tubuhnya terkapar lemas dan tak mampu
    bergerak lagi, cairan kelaminnya yang terus mengucur tiada henti saat
    permainan cinta itu berlangsung membuat vaginanya terasa kering. Namun
    sekali lagi, ia merasa puas, sepuas-puasnya.
    Sejak saat itu,
    dokter Miranti menjalin hubungan gelap dengan dengan Edo. Kehidupan
    mereka kini penuh dengan kebahagiaan cinta yang mereka raih dari
    kencan-kencan rahasia yang selalu dilakukan kedua orang itu saat suami
    dokter Miranti tidak di rumah. Di hotel, di apartement Edo atau bahkan
    di rumah sang dokter mereka lakukan perselingkuhan yang selalu diwarnai
    oleh hubungan seks yang seru tak pernah mereka lewatkan.
    Terlampiaskan
    sudah nafsu seks dan dendam pada diri mereka masing-masing. Dokter
    Miranti tak lagi mempermasalahkan suaminya yang doyan perempuan itu. Ia
    bahkan tak pernah lagi mau melayani nafsu birahi suaminya dengan
    serius. Setiap kali lelaki itu memintanya untuk bercinta ia hanya
    melayaninya setengah hati. Tak ia hiraukan lagi apakah suaminya puas
    dengan permainan itu, ia hanya memberikan pelayanan sekedarnya sampai
    lelaki botak dan berperut besar itu mengeluarkan cairan kelaminnya
    dalam waktu singkat kurang dari tiga menit. Ingin rasanya dokter
    Miranti meludahi muka suaminya, lelaki tak tahu malu yang hanya
    mengandalkan uang dan kekuasaan. Yang dengan sewenang-wenang membeli
    kewanitaan orang dengan uangnya. Lelaki itu tak pernah menyangka bahwa
    istrinya telah jatuh ke tangan seorang pemuda perkasa yang jauh
    melebihi dirinya. Ia benar-benar tertipu.

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *

    35 mins