Aku adalah seorang mahasiswa semester akhir. Sejak berusia 16 tahun aku merasakan bahwa aku mempunyai perilaku seks yang menyimpang. Sebagai laki-laki, aku justru lebih suka untuk didominasi oleh wanita. Aku sering membayangkan suatu keadaan dimana aku dicaci, dihina, direndahkan, dan disiksa secara sadis oleh seorang wanita.
Saat aku menginjak semester delapan, aku mendaftarkan diri pada sebuah situs BDSM dan berhasil berkenalan dengan seorang wanita berusia 30 tahun yang suka menjadi dominan. Dia adalah Nyonya Hana. Perkenalan awal lewat internet kemudian berlanjut ke pertemuan kami. Ternyata Nuonya Hana adalah seorang manajer personalia di sebuah hotel. Dia tidak cantik, namun berpenampilan anggun. Singkat cerita, kami pun saling cocok.
Sejak awal bulan Juli, kami pun sepakat untuk menjadi pasangan majikan dan budak. Aku berkewajiban untuk melayani Nyonya Hana kapan pun dia menginginkanku. Aku juga harus mematuhi seluruh perintah-perintahnya dan menerima semua yang dilakukannya kepadaku. Termasuk hinaan dan siksaan. Sedangkan Nyonya Hana, dia memiliki hak penuh untuk melakukan apa saja yang disukainya kepadaku. Aku tidak lebih dari barang-barang miliknya yang lain. Dan aku tidak menerima imbalan apapun. Imbalanku adalah kesenanganku.
Aku akan bercerita sebagian pengalamanku selama jadi budak Nyonya Hana. Saat itu hari sudah malam. Sekitar pukul delapan malam. Telepon di kontrakanku berdering. Kebetulan aku yang mengangkatnya. Ternyata itu adalah Nyonya Hana. Dia memintaku untuk datang ke alamat villa sewaannya dan melayaninya malam itu juga. Tentu saja aku tidak dapat menolak. Dia adalah majikanku. Dan aku pun berangkat malam itu.
Nyonya Hana sudah menungguku saat aku tiba di villa. Dia berpakaian serba hitam yang mengkilap. Tanpa basa-basi lagi, dia lalu menyuruhku untuk melepas seluruh bajuku. Aku menurutinya. Kini tubuhku telanjang bulat tanpa selembar kain pun. Nyonya Hana lalu mendekatiku. Dia melumat bibirku dan meremas kemaluanku. Penisku pun mengeras. Nyonya Hana meraba seluruh tubuhku dan membuatku semakin terangsang.
Di tengah permainan itu, dia berhenti. Nyonya Hana lalu menyuruhku untuk memasuki ruang belakang. Di sana ternyata sudah terdapat tali panjang yang menggantung pada kayu besar yang melintang di tengah ruangan. Dia lalu mengikat kedua tanganku pada tali itu. Kini aku sama sekali tidak berdaya. Kedua tanganku diikat menyatu ke atas pada tali itu dan aku pun terpaksa harus berjinjit pada kedua ujung kakiku karena tali itu ternyata terlalu tinggi.
Nyonya Hana mengelilingi aku sebentar, lalu dia pergi ke arah meja dan mengambil sebuah cambuk berwarna hitam. Semenit kemudian, dia sudah berdiri di belakangku.
Dia lalu mendekatiku dan berkata, “Hei budak, kamu adalah milikku dan saat ini aku ingin sekali menyiksa kamu. Kamu tahu? Aku sangat puas jika melihat kamu berteriak kesakitan.”
Aku diam saja. Aku hanya bisa pasrah dengan apa yang akan terjadi berikutnya.
Tiba-tiba. Tar! Tar! Dua cambukan menghajar punggungku dengan keras. Aku berteriak keras. Rasanya sakit sekali. Nyonya Hana tertawa puas melihat tubuh bugilku menggeliat menahan sakit yang amat sangat. Dia tidak berhenti sampai di situ. Nyonya Hana terus mencambukku sampai sekitar 200 cambukan. Punggungku terasa amat sakit dan panas karena sobek dan mengeluarkan darah. Tubuhku sudah basah dengan keringat dan terasa lemas. Tapi anehnya, aku menikmatinya. Inilah yang kuimpikan sejak dulu, disiksa dan direndahkan oleh wanita.
Setelah puas dengan cambukan, dia melepas ikatan tanganku. Dia lalu memindahkanku ke kamar tidur. Dia lalu mengikat kedua tangan dan kakiku dengan tali ke masing-masing sudut tempat tidur. Kini aku telentang dalam keadaan terikat dan telanjang seperti huruf X.
Nyonya Hana lalu meraih kotak tempat dia menyimpan alat-alat penyiksaan dan mengambil dua buah jepitan buaya yang bergigi tajam dan terkenal kuat cengkeramannya. Aku menunggu dengan hati berdebar-debar. Seperti yang kuduga, Nyonya Hana meraih putingku dan menjepitkan jepitan buaya itu hingga daging kedua putingku terjepit erat. Rasanya sakit sekali. Aku berteriak dan meronta. Tapi tubuhku terikat erat oleh tali di tempat tidur. Aku tidak berdaya.
Selang beberapa menit, aku pun kembali tenang. Nyonya Hana kembali mendekatiku, dan kali ini dia membawa sebuah lilin merah dengan diameter besar, seperti yang sering dipakai di kuil-kuil. Dia lalu menyalakan lilin itu. Setelah lilin terbakar, Nyonya Hana lalu memiringkan lilin yang dibawanya dan meneteskan lilin panas yang meleleh di atas tubuhku yang telanjang. Satu tetesan pertama mendarat tepat di atas putingku yang terjepit oleh jepitan buaya. Aku berteriak histeris. Rasanya seperti di neraka. Tetapi Nyonya Hana hanya tersenyum.
Dia lalu meneteskan lilin itu ke bagian-bagian tubuhku yang sensitif. Dada, perut dan paha tidak luput dari tetesan cairan lilin panas. Tubuhku semakin berkeringat dan menggelinjang menahan panas. Aku merasakan siksaan yang amat sakit. Aku hanya dapat mengerang kesakitan dan memohon belas kasihan Nyonya Hana.
Setelah sebagian besar tubuhku tertutup lilin panas yang mengering, Nyonya Hana kemudian melepaskan ikatan kedua kakiku. Dia lalu mengangkat kedua kakiku ke atas dan kemudian ditekan dalam keadaan mengangkang ke arah dada. Kini aku hampir dapat mencium kedua lututku. Nyonya Hana lalu mengikat kedua kakiku dengan tali pada ujung sudut-sudut tempat tidur yang digunakan untuk mengikat kedua tanganku. Kini aku semakin tidak berdaya. Selain ikatan tubuhku semakin kuat, aku juga telah banyak kehilangan tenaga.
Dalam keadaan seperti ini, kedua kakiku dalam keadaan mengangkang ke atas dan pantatku pun tepat berhadapan dengan Nyonya Hana. Dia kembali menyalakan lilin. Saat itu aku sudah mulai ketakutan.
“Ampun, Nyonya.., ampun. Tolong, ampuni saya. Jangan siksa saya lagi, Nyonya..!” aku merintih memohon belas kasihan Nyonya Hana.
Dia hanya tersenyum.
Nyonya Hana lalu memiringkan lilin yang tadi dinyalakannya ke arah pantatku yang terbuka. Tes.. Tes.. Tes. Sekian banyak tetes lilin mengalir deras di daerah pantatku. Aku berteriak sekuat-kuatnya untuk menahan sakit. Tidak hanya sampai di situ saja siksaan yang kualami. Pada tetesan yang entah ke berapa puluh kalinya, Nyonya Hana kemudian mengarahkan lilinnya ke anusku. Tidak dapat dielak lagi, cairan lilin panas itu menghujani daerah anusku dan sebagian masuk ke lubang anus.
Kali ini aku tidak hanya berteriak tapi juga membentur-benturkan pantatku ke tempat tidur untuk menahan sakit. Nyonya Hana tertawa terbahak-bahak melihatku kesakitan dalam keadaan telanjang dan terikat tidak berdaya. Aku tidak lebih dari kelinci percobaan Nyonya Hana.
Ternyata Nyonya Hana belum puas. Dia masih kembali memiringkan lilinnya ke arah tubuhku. Kali ini sasarannya adalah kemaluanku. Tanpa basa-basi lagi Nyonya Hana meneteskan lilin-lilin panas bertubi-tubi ke arah penisku. Aku kembali berteriak kesakitan. Badanku bergetar dan aku merasa ingin pingsan. Nyonya Hana tertawa penuh kemenangan.
Dia lalu mendekati wajahku dan berkata, “Rasakan, budak..!”
Sedetik kemudian, kedua tangan Nyonya Hana menarik jepitan buaya di kedua putingku dengan tarikan keras dan panjang. Aku benar-benar berteriak histeris. Malam itu aku disiksa dengan cara-cara yang teramat sadis dan keji. Setelah puas menyiksaku dengan sadis, Nyonya Hana melepaskan ikatanku dan juga jepitan buaya di putingku. Rasanya seperti diiris dengan pisau. Kedua putingku terasa sakit dan mengeluarkan darah.
Nyonya Hana kemudian memakaikan sebuah kalung anjing di leherku dan menyuruhku untuk berjalan merangkak mengikutinya seperti seekor anjing. Dia ternyata membawaku ke halaman belakang. Di situ terdapat sebuah kandang anjing yang kosong. Nyonya Hana meyuruhku untuk masuk ke dalamnya. Aku menuruti perintahnya. Dia lalu menutup pintu kandang dan menguncinya.
Nyonya Hana lalu berkata, “Nah, budak, kamu sekarang bisa tidur dulu. Aku ada janji malam ini dengan seorang pria yang jantan dan macho. Dia benar-benar cowok idaman. Setidaknya tidak seperti kamu. Bagiku, kamu adalah budak belian yang hina yang tak lebih dari seekor anjing. Nah, sekarang tidurlah seperti seekor anjing..!”
Nyonya Hana kemudian meninggalkanku sendirian di kandang anjing. Dia pergi ke arah kota untuk minum-minum di kafe. Sementara itu, tubuhku menjadi sasaran nyamuk-nyamuk kelaparan. Aku benar-benar diperlakukan seperti budak malam itu. Dicaci, dihina, direndahkan dan disiksa secara sadis oleh majikanku. Dan kini aku diperlakukan tidak lebih dari seekor binatang. Untungnya, malam itu aku dapat juga tidur walaupun hari sudah menjelang pagi.
Keesokan harinya, aku dibangunkan secara kasar oleh Nyonya Hana pagi-pagi sekali. Mungkin sekitar pukul enam pagi. Tubuhku masih terasa sakit dan penat karena siksaan semalam. Tapi bagaimanapun juga aku berusaha untuk bangun. Aku tidak berani untuk melawan majikanku. Aku kemudian diberinya pakaian yang pantas dan dipaksa untuk masuk ke mobil. Kami kemudian pergi ke arah luar kota.
Sekitar setengah jam perjalanan, kami melewati jalan raya kecil yang di kanan kirinya masih merupakan hutan, walaupun bukan hutan liar. Tiba-tiba Nyonya Hana membelokkan mobilnya ke kiri dan masuk ke sebuah jalan tanah. Dia baru berhenti setelah kami tidak terlihat dari arah jalan raya karena terlindung pepohonan.
Nyonya Hana lalu menyuruhku turun. Dia lalu memerintahkanku untuk melepaskan seluruh pakainku. Aku tidak dapat menolak. Kini aku pun kembali telanjang bulat bersama Nyonya Hana di tengah hutan. Nyonya Hana kemudian menyuruhku untuk mengikutinya menuju ke sebuah sungai yang ada di situ. Dia kemudian memerintahkan aku untuk mengotori seluruh badanku dengan lumpur sungai yang ada di situ. Aku pun melakukannya. Nyonya Hana melihatku dengan tersenyum puas. Aku melumuri seluruh badanku dengan lumpur termasuk wajahku. Setelah selesai, Nyonya Hana kemudian mengacak-acak rambutku, sehingga penampilanku seperti orang gila saat itu.
Tidak berhenti sampai di situ, Nyonya Hana lalu memberiku tulang ayam goreng yang sudah sedikit dagingnya. Dia lalu mengatakan padaku bahwa dia akan membawa pergi pakaianku dan menungguku di seberang hutan yang lain yang telah ditunjukkannya padaku melalui peta. Jaraknya kurang lebih lima kilometer. Untuk mencapai tempat itu, aku harus berjalan melalui pinggir jalan raya dalam keadaan telanjang dan sambil memakan tulangan ayam. Aku benar-benar merasa direndahkan saat itu. Tapi sekali lagi, aku justru menikmatinya.
Tidak berapa lama, Nyonya Hana benar-benar meninggalkanku sendirian di dalam hutan. Setelah Nyonya Hana pergi, aku pun mulai berjalan ke arah jalan raya. Sampai di batas pepohonan yang menutupiku dengan jalan raya kecil itu, aku mulai ragu. Meskipun bukan jalan raya besar, jalan raya itu cukup ramai dengan kendaraan yang lalu lalang. Tetapi aku juga tidak tahu jalan lain untuk menuju tempat Nyonya Hana menunggu selain melalui jalan itu. Untuk berjalan melalui hutan, aku tidak berani mengambil resiko. Bisa-bisa aku tersesat karena tidak tahu arah sama sekali. Aku juga tidak dapat terus-terusan tinggal diam di situ karena aku tidak punya pakaian selembar pun. Bagaimanapun juga aku harus menemui Nyonya Hana di seberang hutan.
Akhirnya, aku nekat juga. Pelan-pelan aku keluar dari pepohonan saat jalan raya sepi. Tetapi, itu tidak berlangsung lama. Sebentar kemudian sebuah mobil pick up yang bagian belakangnya penuh dengan penumpang terlihat dari jauh. Setelah dekat dan melihatku, mereka bersorak-sorak ramai mengejekku dengan kata-kata kotor. Ternyata, di bagian belakang mobil itu juga ada beberapa gadis yang ikut menumpang. Tanpa diduga, si sopir memperlambat laju mobilnya di dekatku untuk memberikan kesempatan kepada teman-temannya mengejekku dan mengolokku di depan para gadis itu.
Jarakku dengan mobil itu hanya sekitar 3 meter karena memang jalan raya kecil itu tidak punya bahu jalan yang cukup lebar. Gadis-gadis di situ menjerit menahan malu. Tetapi aku yakin bahwa mereka sudah melihat ke arahku. Aku benar-benar merasa sangat rendah saat itu. Aku diolok-olok di depan umum dalam keadaan bugil dan kotor. Akhirnya, mereka berlalu juga.
Kejadian seperti itu berulang terus sepanjang aku menempuh perjalananku. Aku dilecehkan dan dicemooh oleh orang-orang. Aku terpaksa harus berjalan dalam keadaan telanjang bulat dan tubuh penuh dengan kotoran. Wanita-wanita yang kebetulan melihatku, tersenyum menahan malu. Tapi kemudian mereka juga berbisik-bisik dan tertawa menghinaku. Aku hampir-hampir tidak kuat menahan pelecehan itu. Tapi aku tidak punya pilihan lain selain kembali kepada Nyonya Hana. Kalau tidak, aku akan ditinggalkan selamanya di hutan tanpa pakaian. Cemoohan kepada diriku harus kutahan selama jarak lima kilometer.
Setelah berjalan sekian lama, akhirnya aku sampai juga ke sudut hutan yang sepi yang telah di tentukan Nyonya Hana. Dia menungguku di sana sambil tertawa terbahak-bahak melihatku datang. Dia berdiri berkacak pinggang penuh kemenangan. Setelah puas menatap keadaanku, Nyonya Hana tidak memberiku pakaian, tetapi langsung menyuruhku untuk masuk ke mobil dan membawaku kembali ke villa. Untungnya, kaca mobil Nyonya Hana sangat gelap, sehingga tubuh telanjangku tidak akan kelihatan dari luar.
Kami sampai di villa sudah siang. Mungkin sekitar pukul setengah dua belas. Saat itu matahari bersinar terik tanpa awan sedikit pun yang menutupinya. Hari itu menjadi siang yang sangat panas.
Nyonya Hana kemudian membawaku ke halaman belakang villa. Di sana terdapat sebuah tiang melengkung berbentuk huruf U terbalik yang lebih tinggi dariku. Tanpa memberiku kesempatan untuk beristirahat, Nyonya Hana langsung mengambil tali dan mengikat kedua tanganku di puncak tiang seperti keadaan tadi malam. Kedua tanganku terikat ke atas dan kakiku pun sedikit terangkat ke atas, sehingga aku hanya dapat bertumpu pada ujung jari-jari kaki.
Nyonya Hana lalu mengambil cambuk dan mencambuk tubuhku sekitar 30 cambukan keras. Aku hanya dapat berteriak kesakitan dan memohon ampun pada Nyonya Hana. Tapi dia tetap tidak perduli. Punggungku kembali terasa sakit karena luka cambukan semalam belum sembuh. Tubuhku penuh dengan keringat karena sinar matahari yang amat panas.
Setelah puas mencambukku, Nyonya Hana meninggalkanku begitu saja dijemur di bawah terik matahari yang menyengat. Tubuhku terasa sangat lemas. Mataku sudah berkunang-kunang. Yang kuingat, aku belum diberi makan oleh Nyonya Hana sejak penyiksaan dimulai tadi malam. Tubuhku yang kotor dan bugil dibakar sinar matahari sepanjang siang itu. Keringatku membasahi tubuhku dengan deras membuatku semakin lemas.
Sementara itu, punggungku terasa amat sakit akibat cambukan dan bagian depan tubuhku dan daerah sekitar kemaluanku masih memerah akibat siksaan panas lilin tadi malam. Aku benar-benar merasa seperti di neraka. Aku hanya ingat aku dijemur lama sekali. Akhirnya aku tidak kuat. Aku pingsan di tiang siksaan.
Ketika aku sadar, aku sudah berada di dalam villa. Hari sudah sore. Nyonya Hana ada di depanku membawa makanan. Aku sedikit gembira karena tubuhku sudah sangat lemas. Nyonya Hana kemudian memberiku makan saat itu. Namun tentu saja aku tidak dapat makan seperti orang biasa. Aku adalah seorang budak.
Nyonya Hana menaruh makanan yang dibawanya di mangkuk makanan anjing dan menyuruhku untuk makan dalam keadaan merangkak dan hanya boleh menggunakan mulut seperti layaknya seekor anjing. Harga diriku benar-benar diinjak-injak. Aku tahu bahwa anjing pun masih mendapatkan perlakuan yang lebih baik. Setidaknya, anjing masih diberikan makanan secara teratur dan disayang oleh majikannya. Sedangkan aku, jatah makanku saja terlambat dan aku pun selalu disiksa secara sadis oleh majikanku. Nyonya Hana benar-benar menempatkanku dalam posisi yang amat rendah. Bahkan lebih rendah dari anjing piaraannya.
Setelah makan, aku kembali dibimbing oleh Nyonya Hana menuju kamar mandi. Di sana tangan dan kakiku diikat dengan tali, kemudian pintu kamar mandi dikunci oleh Nyonya Hana. Setelah itu, Nyonya Hana pergi entah kemana. Aku sangat capek saat itu. Aku langsung tertidur dan baru dibangunkan oleh Nyonya Hana dini hari keesokannya. Nyonya Hana mengatakan bahwa sewa villa telah habis dan aku harus meninggalkan villa sebelum jam tujuh pagi. Setelah itu, Nyonya Hana langsung pergi meninggalkanku begitu saja yang masih telanjang bulat dan kotor seperti sampah.
Nyonya Hana akan datang lagi saat dia memerlukanku untuk dimaki dan disiksa secara sadis. Diperlakukan seperti budak dan direndahkan seperti anjing. Tapi aku tidak dapat menolak. Aku harus patuh padanya. Karena Nyonya Hana adalah majikanku dan aku adalah ‘BUDAK’-nya.
Leave a Reply